Kilasinformasi.com, Jakarta — Pemerintah melalui Kementerian Sosial kembali menunjukkan keberpihakan nyata kepada warga miskin dan miskin ekstrem. Kali ini, perhatian itu diwujudkan dalam bentuk Sekolah Rakyat—sebuah program pendidikan unggulan berbasis asrama, yang khusus dirancang untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Sekilas, mungkin banyak yang mengira Sekolah Rakyat adalah sekolah alternatif atau darurat. Tapi nyatanya, justru sebaliknya. Sekolah ini mengusung konsep boarding school berkualitas tinggi, lengkap dengan fasilitas, tenaga pendidik, dan kurikulum setara sekolah unggulan. Perbedaannya hanya satu: sekolah ini gratis dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak yang selama ini termarjinalkan dari sistem pendidikan formal.
Baca Juga, Kilasinformasi: Pemerintah Hadirkan Dua Sekolah Rakyat di Makasar
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul, menegaskan komitmen Presiden untuk memberikan kesempatan emas kepada kelompok miskin ekstrem agar bisa mengakses pendidikan layak.
“Yang sekolah di Sekolah Rakyat bukan mereka yang lulus tes IQ atau akademik, tapi mereka yang benar-benar dari keluarga miskin. Ini bentuk keberpihakan negara yang nyata,” ujar Gus Ipul dalam audiensi bersama tokoh masyarakat, akademisi, tenaga medis, dan perwakilan komunitas disabilitas di Jakarta.
Gus Ipul menyatakan bahwa Sekolah Rakyat bukanlah opsi kedua, melainkan pilihan utama bagi mereka yang selama ini tidak punya pilihan. Negara hadir tidak hanya dengan fasilitas fisik, tetapi juga dengan pendekatan kurikulum berbasis talent mapping, bukan sistem pendidikan konvensional yang seragam.
“Jangan paksa sapi terbang. Anak-anak kita harus diarahkan sesuai dengan bakat dan potensi masing-masing,” tegasnya.
Baca Juga, Kilasinformasi: Empat Sekolah Rakyat Siap Hadir di Sumut Tahun Ini, Salah Satunya di UINSU
Pendekatan ini memungkinkan setiap anak berkembang sesuai talenta unik mereka, bukan dipaksa mengikuti standar akademik yang kaku. Hal ini sekaligus menjadi pembeda utama antara Sekolah Rakyat dengan lembaga pendidikan formal pada umumnya.
Selain aspek pendidikan, Kemensos juga menaruh perhatian besar pada kesehatan peserta didik. Setiap anak yang akan masuk sekolah harus dipastikan dalam kondisi sehat. Jika ada yang terdiagnosis penyakit seperti TBC, negara akan menanggung seluruh biaya pengobatan hingga sembuh.
“Kami tidak akan menolak. Tapi kami pastikan mereka sembuh dulu. Semua biaya ditanggung negara,” jelas Gus Ipul.
Program ini akan dimulai pada Juli 2025 dengan membuka 63 Sekolah Rakyat yang tersebar di berbagai wilayah:
-
Pulau Jawa: 34 titik
-
Sumatera: 13 titik
-
Sulawesi: 8 titik
-
Bali dan Nusa Tenggara: 3 titik
-
Kalimantan: 2 titik
-
Maluku: 2 titik
-
Papua: 1 titik
Pemerintah menargetkan pembangunan Sekolah Rakyat hingga mencapai 240 titik, dengan kapasitas masing-masing sekitar 40 rombongan belajar. Tujuannya, kehadiran sekolah ini bisa merata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Sekolah Rakyat juga mengusung sistem multi entry – multi exit, yang memberi fleksibilitas bagi siswa. Anak yang telah menyelesaikan satu modul boleh bekerja dulu, lalu kembali melanjutkan pendidikan tanpa harus menyelesaikannya dalam jangka waktu tertentu.
“Saya ingin mereka lulus bukan hanya dengan ijazah, tapi juga punya keterampilan hidup. Mereka harus siap bekerja, membuka usaha, dan mandiri,” kata Gus Ipul.
baca Juga, Kilasinformasi: Sekolah Rakyat Jadi Senjata Baru Pemerintah untuk Menghapus Kemiskinan Ekstrem
Kementerian Sosial juga tidak berhenti pada anak-anak saja. Orang tua siswa pun akan dibekali program pemberdayaan ekonomi agar roda kesejahteraan keluarga bisa berputar lebih cepat. Kombinasi antara pendidikan anak dan pemberdayaan orang tua ini diyakini akan menciptakan dampak berkelanjutan dalam jangka panjang.
“Yang kaya bisa sekolah di mana saja. Tapi yang miskin harus dibela. Karena mereka punya hak yang sama untuk berhasil,” pungkas Gus Ipul.
Dengan pendekatan menyeluruh, Sekolah Rakyat bukan sekadar inisiatif pendidikan, tapi gerakan sosial yang berani meretas kesenjangan dan membuka harapan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih inklusif.
Sumber: Kemensos