Di balik pusaka tua bernama Kyai Wijaya Mukti, tersimpan filosofi luhur kepemimpinan Jawa yang tetap relevan di era modern. Prosesi siraman pusaka ini bukan sekadar ritual, tapi cermin nilai spiritual dan moral dalam tata kelola Kota Yogyakarta.
Kilasinformasi.com, Yogyakarta – Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) menggelar prosesi Siraman Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti pada Kamis pagi (24/7), bertempat di Plaza Segoro Amarto, Balai Kota Yogyakarta. Kegiatan ini merupakan bentuk pelestarian nilai adat dan tradisi, sekaligus penghormatan terhadap pusaka kebesaran Kota Yogyakarta.
Prosesi siraman dipimpin langsung oleh Wali Kota Yogyakarta, Dr. (H.C.) dr. H. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), dan dihadiri oleh seluruh pimpinan OPD, kemantren, hingga kelurahan di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.

Tombak Kyai Wijaya Mukti merupakan pusaka peninggalan era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang dibuat pada tahun 1921. Pada tahun 2000, pusaka ini diserahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada Wali Kota Yogyakarta R. Widagdo, dan sejak itu disemayamkan di ruang kerja wali kota sebagai simbol kekuatan moral dan spiritual seorang pemimpin.
“Pusaka ini bukan sekadar senjata, tetapi mengandung nilai luhur dan pesan kepemimpinan yang mengayomi rakyat dengan penuh kemakmuran dan keadilan,” ujar Hasto Wardoyo dalam sambutannya.
Tombak tersebut memiliki panjang tiga meter, dengan pamor wos wutah wengkon dan dhapur kudhuping gambir, serta landeyan sepanjang 2,5 meter dari kayu Walikun. Filosofi pamornya menyiratkan harapan akan kemakmuran yang merata bagi seluruh warga.
Baca Juga, Kilasinformasi: KEBAYA DAN KITA: Kebudayaan adalah Wajah Indonesia
Dalam budaya Jawa, pusaka dipercaya sebagai perpaduan antara kekuatan fisik dan spiritual. “Tegaknya pusaka ini adalah simbol ‘luluhing kawula lan Gusti’, yakni hubungan harmonis antara rakyat dan pemimpinnya,” jelas seorang tokoh budaya yang hadir dalam prosesi tersebut.
Kegiatan siraman ini juga diikuti oleh para pemilik pusaka lain dari lingkungan Pemerintah Kota, serta melibatkan berbagai komunitas budaya seperti Paguyuban Paheman Memetri Wesi Aji (Pamerti Wiji), Abdi Dalem Keprajan Kraton wewengkon Kota, serta Paguyuban Bergada Segoro Amarto.
Kehadiran pusaka Kyai Wijaya Mukti di ruang wali kota tidak hanya menjadi simbol warisan budaya, tetapi juga pemicu semangat untuk membangun pemerintahan yang bersih, melayani, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kejawaan. (Herman)


