Hari Santri 2025 bukan sekadar seremoni, tapi momentum memperkuat peran pesantren dalam pembangunan bangsa. Dirjen Pendis Amien Suyitno pun menegaskan komitmen pemerintah soal legalitas, beasiswa, hingga pengawasan pesantren.
Kilasinformasi.com, Jakarta – Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag), Amien Suyitno, menegaskan bahwa peringatan Hari Santri 2025 akan menjadi ruang penguatan peran pesantren, bukan hanya ajang seremonial. Hal tersebut ia sampaikan dalam Press Conference Road to Hari Santri 2025 yang digelar di Aroem Ballroom, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Dalam sesi tanya jawab bersama wartawan, Amien menanggapi sejumlah isu yang mencuat terkait legalitas pesantren, dana abadi, beasiswa, hingga pengawasan terhadap kasus asusila di lingkungan pesantren.
Amien menegaskan bahwa saat ini Kemenag sedang mengawal pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren dan memperkuat keberadaan Ma’had Aly atau kampus berbasis pesantren. Hingga kini, sudah ada 91 Ma’had Aly yang resmi mengantongi izin Kemenag sesuai PP Nomor 46 Tahun 2019.
“Ma’had Aly bukan sekadar simbol, tetapi jawaban atas tantangan sosial-keagamaan,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal legalitas pesantren yang sering dinilai berbelit. Menurutnya, pemenuhan syarat seperti Arkanul Ma’had dan Izin Operasional Pesantren (IJOP) menjadi hal utama. Pesantren juga harus aktif dalam sistem EMIS agar proses perizinan berjalan lancar.
Menjawab isu pendanaan, Amien mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan dana abadi pesantren sebesar Rp139 triliun, sebagaimana disampaikan sejak Oktober 2024. Dana tersebut dikelola melalui program LPDP-Kemenag dan difokuskan untuk beasiswa kompetitif.
“Jumlah santri penerimanya juga sangat besar. Dana ini diarahkan untuk penguatan kompetensi santri agar lebih berdaya,” tegasnya.
Amien juga menekankan bahwa proses pendidikan pesantren kini diakui negara melalui Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) yang sudah disahkan dalam bentuk PMA.
“Jika seseorang bergelar Kiai Haji karena keilmuannya, maka negara akan mengesahkan dengan ijazah setara pendidikan formal,” jelasnya.
Terkait isu sensitif kasus asusila di pesantren, Amien menegaskan bahwa Kemenag sudah menerbitkan regulasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, antara lain PMA Nomor 65 Tahun 2016 dan PMA Nomor 73 Tahun 2022.
“Kami akui pengawasan pesantren tidak semudah mengontrol lembaga pendidikan formal. Karena itu Majelis Masyayikh difungsikan untuk memperkuat pengawasan,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika kasus menyangkut ranah hukum, aparat penegak hukum tetap menjadi pihak utama. Namun dari sisi pendidikan, Kemenag hadir untuk memastikan perlindungan dan pencegahan.
Dengan berbagai kebijakan tersebut, Kemenag ingin memastikan pesantren tidak hanya terlegitimasi secara hukum, tetapi juga mampu melahirkan santri yang berdaya, berilmu, dan siap menghadapi tantangan zaman.
sumber : Kemenag


