KilasInformasi.com, 25 Februari 2025 – Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag) RI, Abu Rokhmad, menegaskan bahwa sidang isbat merupakan bagian penting dari layanan keagamaan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pernyataan ini disampaikan saat membuka acara Catch the Moon yang diselenggarakan di Auditorium HM Rasjidi, Kementerian Agama, Jakarta, pada Senin (24/2/2025).
Sidang isbat, yang melibatkan proses hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan hilal), adalah salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam memastikan kepastian hukum serta ketertiban dalam pelaksanaan ibadah umat Islam, terutama dalam menentukan awal bulan Hijriah.
Abu Rokhmad menjelaskan bahwa sidang isbat bukanlah sekadar tradisi, melainkan sebuah forum resmi yang memutuskan kapan awal bulan Hijriah dimulai, menggunakan pendekatan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya, layanan ini setara dengan layanan keagamaan lain yang diberikan oleh pemerintah, seperti haji, umrah, pendidikan agama, serta sertifikasi halal.
Baca Juga, Kilasinformasi : Sidang Isbat Awal Ramadan 1446 H Digelar 28 Februari 2025, Ini Proses dan Harapannya
“Sidang isbat adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah. Ini adalah bentuk nyata dari kehadiran negara dalam kehidupan beragama umat Islam di Indonesia,” ungkapnya.
Keputusan yang dihasilkan dari sidang isbat memberikan manfaat yang besar bagi umat Islam, karena mengatur pelaksanaan ibadah puasa, Idulfitri, dan perayaan lainnya yang bergantung pada penentuan awal bulan Hijriah.
Perbedaan Metode Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan
Abu Rokhmad juga menyinggung perbedaan metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Hijriah, yaitu metode hisab dan rukyat. Menurutnya, kedua metode tersebut memiliki dasar ilmiah dan keagamaan yang kuat. Hisab menggunakan perhitungan astronomi untuk mengetahui posisi bulan, sementara rukyat mengandalkan pengamatan langsung terhadap hilal (bulan sabit pertama) setelah matahari terbenam.
“Perbedaan antara hisab dan rukyat adalah bagian dari kekayaan intelektual Islam yang harus dihormati. Kedua metode ini memiliki landasan ilmiah dan keagamaan yang kuat, yang telah digunakan dalam sejarah Islam,” jelas Abu Rokhmad.
Ia menegaskan bahwa meskipun ada perbedaan dalam pendekatan, yang terpenting adalah menjaga ukhuwah Islamiyah dan saling menghormati perbedaan pendapat. Kemenag selalu berupaya untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat Islam, lembaga astronomi, dan akademisi, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam sidang isbat dapat diterima oleh semua pihak.
Baca Juga, Kilasinformasi : Pemantauan Hilal Awal Ramadan 1446 H Digelar di 125 Titik di Indonesia, Siapkah Anda Menyambut Ramadan?
Dalam kesempatan tersebut, Abu Rokhmad juga menekankan bahwa sidang isbat tidak hanya sebagai ajang untuk menentukan awal bulan, tetapi juga sebagai momentum untuk memperkuat kebersamaan umat Islam dalam menghadapi perbedaan.
“Kita harus mengedepankan ukhuwah Islamiyah dan tidak menjadikan perbedaan metode sebagai alasan perpecahan. Sidang isbat harus menjadi momentum untuk mempererat kebersamaan dalam keberagaman pandangan di kalangan umat Islam,” tambahnya.
Catch the Moon: Mengedukasi Generasi Muda tentang Ilmu Falak
Acara Catch the Moon yang diadakan Kemenag ini juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya generasi muda, mengenai ilmu falak dan astronomi. Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, mengungkapkan bahwa kegiatan ini diikuti oleh 100 peserta secara luring dan lebih dari 1.000 peserta secara daring.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mendalami metode hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan, serta menyebarluaskan pengetahuan ini di lingkungan masing-masing. Arsad berharap agar peserta dapat memahami dasar-dasar ilmu falak secara mendalam sehingga diskusi tentang penentuan awal bulan tidak hanya berfokus pada perbedaan, tetapi juga pada aspek keilmuan yang lebih luas.
“Umat Islam harus memahami dan menguasai ilmu falak, karena ini bukan hanya soal ibadah, tetapi juga bagian dari tradisi keilmuan Islam yang harus dijaga dan dilestarikan,” tandas Arsad Hidayat.
Sumber Kementrian Agama


