Kenapa Basarnas tidak menurunkan helikopternya untuk mengevakuasi Juliana Marins dari Gunung Rinjani? Pertanyaan ini ramai dilontarkan netizen dari Indonesia hingga Brasil. Jawabannya tidak sesederhana logistik atau keputusan lapangan—melainkan soal batas kemampuan teknologi di medan ekstrem.
Kilasinformasi.com,Yogyakarta — Kasus jatuhnya pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di lereng Gunung Rinjani menyisakan satu tanda tanya besar di tengah publik: mengapa Basarnas tidak mengerahkan helikopter untuk melakukan evakuasi udara?
Pertanyaan itu mengemuka baik dari warganet Indonesia maupun Brasil. Namun menurut pengamat aviasi Adhi Karnanta Hidayat, jawaban teknis menjadi kunci di balik keputusan tersebut.
Baca Juga, Kilasinformasi: Kemenhub Pastikan Penerbangan Haji Aman Usai Ancaman Bom di Pesawat Saudia
Misteri di balik tidak digunakannya helikopter Basarnas dalam evakuasi Juliana Marins, pendaki Brasil yang terjatuh di ketinggian 9.400 kaki (2.865 mdpl) Gunung Rinjani, terungkap melalui analisis teknis aviasi. Inti persoalannya terletak pada keterbatasan kemampuan hover Out of Ground Effect (OGE) yang menjadi syarat mutlak operasi penyelamatan di medan ekstrem.
Hover OGE adalah kondisi ketika helikopter harus mempertahankan posisi diam di udara tanpa bantuan “bantalan udara” dari permukaan tanah. Berbeda dengan hover In Ground Effect (IGE) yang hanya efektif di ketinggian 10–15 meter di atas tanah datar, hover OGE mengandalkan daya angkat murni dari rotor dalam udara tipis.
Basarnas memang memiliki armada helikopter untuk operasi SAR, seperti AW139 dan AS365 Dauphin, yang dilengkapi peralatan rescue termasuk hoist untuk evakuasi udara. Namun, jumlahnya terbatas dan masing-masing tipe memiliki batasan teknis yang signifikan.
Beberapa faktor utama mengapa helikopter Basarnas tidak digunakan dalam evakuasi Juliana Marins, lokasi korban berada di lereng curam pada ketinggian sekitar 9.400 kaki (sekitar 2.865 meter). Untuk melakukan evakuasi dengan metode hoisting, helikopter harus mampu hover (diam di udara) pada ketinggian tersebut.
Baca Juga, Kilasinformasi: Kemlu RI Mulai Evakuasi Bertahap WNI dari Iran Usai Serangan Rudal
Kemampuan Helikopter Basarnas AW139 hanya mampu hover OGE (Out of Ground Effect) maksimal di 8.130 kaki. Sedangkan AS365 hanya mampu hover OGE maksimal di 3.740 kaki.
Dengan demikian, kedua tipe helikopter Basarnas tidak mampu melakukan hover OGE di lokasi korban yang berada di atas batas kemampuan teknis mereka, meskipun cuaca cerah.
Lereng Rinjani sangat curam dan tidak menyediakan ruang aman untuk manuver helikopter, selain itu, angin lereng, turbulensi, kabut tebal, dan cuaca ekstrem sangat membahayakan penerbangan dan stabilitas helikopter di area tersebut. Memaksakan sebuah operasi udara kondisi tersebut justru membahayakan kru helikopter dan tim SAR, karena risiko kehilangan daya angkat dan kecelakaan sangat tinggi.
Evakuasi akhirnya dilakukan secara manual oleh tim SAR darat yang menempuh medan berat selama beberapa hari. Helikopter hanya digunakan untuk evakuasi dari titik Sembalun yang ketinggiannya lebih rendah (sekitar 3.000 kaki), menggunakan Bell 206L4 sipil yang kemampuan hover OGE-nya juga terbatas.
Penggunaan helikopter Basarnas untuk rescue Juliana Marins tidak memungkinkan secara teknis dan justru berisiko tinggi bagi kru. Keterbatasan kemampuan hover di ketinggian dan medan ekstrem menjadi alasan utama metode ini tidak digunakan.
Adhi Karnanta Hidayat menekankan perlunya Basarnas mempertimbangkan helikopter dengan kemampuan hover OGE di atas 9.000 kaki, seperti Kamov Ka-27, untuk mengantisipasi insiden serupa di masa depan. “Tanpa kemampuan hover OGE yang memadai, operasi penyelamatan justru membahayakan kru dan korban,” tegasnya
Pewarta: Adhi Karnanta Hidayat