Kilasinformasi.com, Magelang, 30 Mei 2025 — Pemasangan stairlift di kompleks Candi Borobudur baru-baru ini menandai langkah besar dalam upaya memperluas aksesibilitas bagi seluruh pengunjung, termasuk penyandang disabilitas dan lansia. Langkah ini dilakukan bersamaan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang disambut langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto, dan menjadi simbol keterbukaan serta kemajuan dalam pengelolaan situs warisan dunia ini.
Direktur Forum Buddhis Indonesia (FBI), Adian Radiatus, menilai bahwa kebijakan ini merupakan hasil pemikiran panjang dan pertimbangan matang, terutama karena Borobudur adalah cagar budaya berkelas dunia. Pemerintah, melalui Kementerian Kebudayaan, telah melibatkan para ahli konservasi untuk memastikan bahwa pemasangan stairlift tidak mengganggu integritas struktur maupun estetika candi.
Baca Juga, Kilasinformasi: Indonesia–Prancis Teken 21 Kesepakatan Strategis
“Langkah ini bukan sesuatu yang gegabah. Pemerintah tidak mungkin merusak situs budaya sebesar Borobudur. Justru dengan pemasangan stairlift, kita menunjukkan komitmen kuat untuk inklusi sekaligus menjaga keutuhan warisan budaya kita,” ujar Adian dalam keterangannya, Kamis Kemarin.
Penerapan teknologi serupa juga telah dilakukan di berbagai situs warisan dunia lainnya seperti Angkor Wat di Kamboja, Gereja Saint Peter di Italia, Forbidden City di Tiongkok, dan Parthenon Acropolis di Yunani. Ini menandakan bahwa pemanfaatan teknologi untuk memperluas akses bukanlah hal baru, melainkan bagian dari praktik konservasi modern yang bertanggung jawab.
Menariknya, stairlift di Borobudur langsung digunakan oleh dua kepala negara saat peresmiannya, menjadikan momen ini bersejarah. “Pemimpin dari dua negara besar menjadi pengguna pertama stairlift ini. Itu bukan hanya simbol inklusi, tapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menjaga nilai sejarah sembari terus berinovasi,” kata Adian.
Adian memahami bahwa ada suara-suara kritis dari sebagian kalangan, termasuk dari komunitas Buddhis. Namun ia menilai kritik tersebut lahir dari rasa cinta dan kepedulian terhadap Candi Borobudur. Menurutnya, informasi yang belum lengkap bisa memicu kesalahpahaman dan kekhawatiran berlebihan.
Baca Juga, Kilasinformasi: Mengunjungi Wisata Religi Nyatnyono
“Saya yakin niat para pengkritik adalah baik. Tapi mari kita lihat ini secara jernih. Jangan sampai pemasangan stairlift ini dipolitisasi atau dipelintir, karena justru akan membingungkan umat dan membuka ruang bagi kepentingan lain yang tidak relevan,” tegasnya.
Dengan keberadaan stairlift, Borobudur kini lebih terbuka untuk semua kalangan tanpa mengorbankan nilai historisnya. Inovasi ini memperlihatkan bagaimana pelestarian warisan budaya dapat berjalan seiring dengan modernisasi dan aksesibilitas.
Langkah ini tidak hanya penting secara praktis, tetapi juga secara simbolis. Borobudur bukan hanya milik masa lalu, melainkan milik semua orang di masa kini dan mendatang. Pemasangan stairlift adalah cermin dari nilai itu, keterbukaan, inklusivitas, dan penghargaan terhadap sejarah.
Sumber: Kemenag